Terpuruk di Ujung Kuasa

Oleh Romanus Ndau Lendong

Akademisi Universitas Bina Nusantara Jakarta

Hal yang paling dikhawatirkan rakyat akhirnya terjadi. Pilkada oleh DPRD yang menurut LSI ditolak oleh 81 persen rakyat,  disahkan jumat, 26/9.  Koalisi Merah Putih (KMP) yang sejak awal bertekad untuk mengembalikan Pilkada oleh DPRD berhasil menyolidkan dukungan dengan meraih 226 suara, mengalahkan opsi Pilkada secara langsung, 135 suara.

Seperti sudah terlihat sebelumnya, keputusan ini memancing reaksi negatif dari berbagai kalangan. Demonstrasi penolakan marak di banyak daerah. Kritik dan kecaman rakyat terhadap SBY atas  kasus ini tercatat sebagai yang terburuk selama karier politiknya. SBY dijuluki sebagai ‘Bapak Pilkada Tak Langsung’ karena dituding bersandiwara dan sengaja membangun skenario untuk mengembalikan Pilkada oleh DPRD.

Lorong Gelap Demokrasi

Ilmuwan politik dari Georgia, Ghia Nodia (2003) menyatakan bahwa jantungnya demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Suatu sistem pemerintahan baru dianggap demokratis jika dipilih dan dikukuhkan oleh rakyat secara langsung.

Reformasi 1998 menabiskan demokrasi sebagai dasar dan arah dari seluruh perubahan politik di negeri ini. Dominasi dan represi elite dalam politik diakhiri karena terbukti gagal menggaransi lahirnya kepemimpinan poilitik yang jujur, berkualitas dan berintegritas. Korupsi yang menggurita, pelayanan publik yang terus memburuk dan macetnya pembangunan sosial-ekonomi merupakan wajah riil dari tradisi politik yang elitis dan oligarkis. Secara akumulatif persoalan-persoalan tersebut membuat bangsa ini terjebak dalam berbagai krisis ekonomi-politik yang begitu mengerikan dan nyaris membuat bangsa Indonesia terpecah-belah.

Dari perspektif tersebut, Pilkada Langsung merupakan ekspresi dari tumbuhnya keinsyafan kolektif bahwa rakyat, meski memiliki banyak keterbatasan, lebih bisa diandalkan dan harus diakomodasi dalam seluruh proses penentuan kebijakan publik. Rakyat dianggap lebih jujur dan tulus dalam menentukan pemimpinnya, karena yang didambakannya adalah sosok yang bersih, jujur, dan pekerja keras.

Tak sulit bagi kita menemukan contoh bahwa Pilkada langsung oleh rakyat  merupakan rahim yang melahirkan sosok pemimpin yang mampu menginspirasi perubahan dan kemajuan. Sebut saja Tri Rismaharini di Surabaya, Basuki Tjahaya Purnama di DKI, Ridwan Kamil di Bandung, Bima Arya di Bogor , Presiden Terpilih  Joko Widodo dan Presiden SBY sendiri adalah anak kandung pemilihan langsung. Itu berarti, sikap SBY dan elite politik  yang secara sengaja menghapus pemilhan langsung ibarat Malin Kundang, si anak durhaka yang tega mengingkari dan menyakiti hati seorang ibu yang telah susah payah melahirkannya.

Betul bahwa Pilkada langsung di beberapa daerah dirasakan mahal dan  memicu konflik sosial. Tapi hal tersebut masih dalam batas-batas wajar sehingga tidak perlu dibesar-besarkan.  Apalagi konflik politik selama ini lebih dipicu oleh rendahnya kapasitas dan integritas elite untuk meraih kekuasaan secara efisien dan terhormat. Jadi, yang mesti dibenahi adalah mentalitas elite, bukan melenyapkan hak rakyat atas demokrasi.

Sayangnya semua pertimbangan tersebut diabaikan oleh elite politik. Pilkada oleh DPRD membuat demokrasi kembali memasuki lorong gelap. Pertama, Pilkada oleh DPRD menjadi jalan untuk mengembalikan dominasi elite dalam seluruh proses politik di tingkat daerah. Otonomi daerah tak lagi relevan bagi rakyat. Sebaliknya, dominasi elite menemukan lahan persemaian yang subur. Seterusnya, dominasi elite akan secara sistematis melanggengkan tradisi politik yang tertutup, sarat konspirasi dan korup. Konsekuensinya, pelayanan publik akan merosot dan pembangunan berbalik arah, bukan lagi melayani rakyat melainkan menghamba dan tunduk pada  kepentingan elite politik.

Kedua, desakan Pilkada oleh DPRD merupakan ekspresi dari menguatnya sikap antikritik di kalangan elite politik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Pilkada langsung menempatkan rakyat pada posisi terdepan untuk menentukan kepemimpinan politik sekaligus mengontrolnya. Buahnya adalah banyak elite politik yang tersisih karena pamornya terus meredup. Kontrol rakyat juga menyebabkan banyak elite yang mengakhiri karier politiknya di balik jeruji besi.

Ketiga, tergerusnya partisipasi rakyat dalam seluruh proses penentuan kebijakan politik di tingkat daerah.  Rakyat tak lagi berdaulat sebaliknya direduksi sebagai penonton yang pasif dan apatis. Perlahan tapi pasti, situasi ini akan berujung pada tumpulnya inisiatif dan daya kritis rakyat dalam menginisiasi terwujudnya kebaikan dan kemajuan bersama.

Terpuruk

SBY dan Partai Demokrat (PD) bertanggungjawab atas lepasnya Pilkada Langsung dari pangkuan rakyat. Dengan dukungan 148 kursi di DPR, PD memainkan peran sentral. Apalagi sebelumnya SBY telah berjanji bahwa dirinya dan PD akan berusaha sekuat tenaga untuk memertahankan Pilkada langsung demi menjamin dan memerkuat partisipasi rakyat.

Janji tersebut sempat meredakan kegelisahan dan kepanikan rakyat. Sialnya, SBY dan PD justru dengan terang-terangan mengkhianatinya. Di tengah panasnya ketegangan Paripurna DPR, antara kelompok pendukung pilkada oleh DPRD dan pilkada langsung, Jumat, 26/9,  PD justru melakukan walk out. Alasannya mereka ingin bersikap netral dan tidak mau didikte oleh kekuatan politik lain.

Tak butuh kecerdasan hebat untuk menilai bahwa rasionalitas aksi walk out tersebut merupakan produk sesat pikir SBY dan PD. Pertama, SBY dan PD adalah rezim yang berkuasa saat ini. Inisiatif untuk melakukan revisi terhadap UU Pilkada berasal dari pemerintah. Kalau memang SBY dan PD memandang bahwa ketegangan politik atas RUU Pilkada sudah melampaui batas dan berpotensi melahirkan disintegrasi sosial, maka yang harus dilakukan adalah menarik kembali dan menghentikan proses pembahasan atasnya. Walk out PD justru cermin bahwa mereka tidak serius dan tidak konsisten mendukung Pilkada Langsung.

Kedua, alasan walk out karena opsi Pilkada Langsung dengan 10 catatan yang diajukan PD tidak diakomodasi oleh parpipurna dinilai tidak masuk akal dan berlebihan. Tidak masuk akal karena tidak ada perbedaan mendasar antara opsi yang diajukan PD dengan kehendak rakyat bahwa dibutuhkan perbaikan-perbaikan mendasar terhadap pilkada lansung. Berlebihan karena perdebatan saat itu terasa biasa-biasa saja, jauh dari kegentingan. Lobi-lobi di antara berbagai kekuatan politik  juga masih terbuka lebar.

Apa boleh buat, Pilkada oleh DPRD telah diambil di tengah meluasnya kritik dan penolakan. Langkah politik SBY amat tragis, karena membunuh satu-satunya prestasi yang pernah ditorehkannya yakni demokrasi langsung. Kelak rakyat akan mengenang SBY sebagai tokoh yang menghidupkan rezim politik yang cenderung bertentangan dengan prinsip-prinsip kejujuran, keadilan, partisipasi dan demokratis. SBY benar-benar terpuruk di ujung kekuasaannya. ***