Oleh Romanus Ndau Lendong

Staf Pengajar Universitas Bina Nusantara, Jakarta

Jokowi, Calon Presiden yang berpasangan dengan Cawapres Jusuf Kalla dan  diusung koalisi PDI Perjuangan, PKB, Nasdem, Hanura dan PKPI kini menjadi magnet baru politik Indonesia. Kehadirannya membius banyak kalangan, terutama rakyat kecil di desa maupun kota. Ke mana pun Jokowi melangkah, rakyat senantiasa antusias menyambutnya. Di pundaknya, banyak orang menaruh harapan akan Indonesia yang lebih baik.

Menariknya, Jokowi diidolakan bukan karena citra kebesaran dan keperkasaan. Buat mereka yang mencitrakan pemimpin sebagai sosok yang hebat dan  perkasa disertai pidato yang meledak-ledak, Jokowi jelas tidak masuk hitungan. Jokowi dirindukan justru karena kepribadiannya yang sederhana, jujur, dan merakyat. Secara fisik, Jokowi terlihat ringkih dan terkesan kurang terawat.  Totalitas kepedulian pada rakyat membuatnya seakan kehabisan waktu untuk merawat diri.

Meski sukses sebagai usahawan mebel, dua kali menjabat Wali Kota Solo dan menjadi Gubernur DKI, kesehariannya tetap sederhana.  Kekuasaan politik tidak membuatnya jumawah. Meski sudah menjadi penguasa dan tinggal di metropolitan Jakarta, Jokowi tetap tampil sebagai orang desa yang lugu dan senantiasa menyatu dengan rakyat miskin. Ia masih kerap minum jamu dan  makan bakso di pinggiran jalan Jakarta.

Apa yang dilakukan Jokowi mengingatkan saya pada nasehat Romo Beny Jaya, Pr, seorang rohaniwan di Manggarai, Flores. Saat maju sebagai Calon Bupati Manggarai Timur 2008 lalu, Romo Beny memberi nasehat begini: “Kalau kau mau menjadi pemimpin, menyatulah dengan rakyat dan hidup sederhana. Rakyat lebih suka pada pribadi yang jujur dan sederhana. Jangan suka menonjolkan kecerdasan dan kemewahan karena hal itu akan menjadi olok-olok bagi kebodohan dan kemiskinan rakyat dan  pada saatnya kau akan ditinggalkan.

Di tangan Jokowi, kekuasaan berubah 380 derajat. Tak ada gegap gempita apalagi gebyar kemewahan. Dengan berjalan kaki dan tanpa pengawalan ketat, Jokowi terus menyusuri kawasan kumuh, bekerja keras dan menyapa rakyat dari berbagai golongan. Gaya bicaranya datar, nyaris tanpa retorika. Semua tampak bersahaja, tulus dan apa adanya.

Saat pengundian nomor urut di KPU beberapa waktu lalu,  Jokowi mengatakan bahwa Pilpres adalah kegembiraan politik bagi rakyat. Pilpres adalah kehormatan dan kebebasan  bagi rakyat dalam menentukan pemimpin. Karena itu, Jokowi mengharapkan agar pilpres diselenggarakan  secara jujur, aman dan damai. Pilpres harus dijauhkan dari prasangka, kebencian, intimidasi dan kekerasan. Pesannya sederhana, jelas dan menenteramkan.

Berbeda sekali misalnya, dengan Amien Rais, yang mengatakan bahwa Pilpres adalah Perang Badar yang harus dijalankan dengan penuh kejujuran dan keuletan untuk memenangkan kebaikan bersama. Seluhur apa pun, perang selalu berkonotasi pertarungan mati-hidup yang meniscayakan korban sesama anak bangsa. Perang dikobarkan atas prinsip: kill or tobe killed, dengan mengerahkan berbagai taktik dan peralatan canggih untuk melenyapkan lawan. Jika demikian, Pilpres tak akan menghadirkan kegembiraan sebaliknya terasa menjijikkan dan menyeramkan.

Kesederhanaan Jokowi juga terlihat dari keteguhannya untuk tidak menjanjikan jatah kekuasaan bagi parpol-parpol pengusungnya. Baginya, terlalu dini untuk menjanjikan posisi-posisi strategis karena jika demikian betapa rendahnya landasan moral perjuangan politik.  Pamrih politik harus dieliminasi karena terbukti telah menjebak bangsa ini dalam regenerasi dendam berkepanjangan. Persaingan politik juga bukan modus untuk menghilangkan hak-hak kelompok yang saat ini tidak sehaluan dengannya.

Keteladanan Elit

Indonesia Merdeka terus bertumbuh karena kesederhanaan dan kerelaan berkorban para pemimpin. Cinta altruis membuat para pemimpin tetap teguh menjalani hari-hari penuh kesulitan karena dihadang kemiskinan dan keterbelakangan. Belum lagi ancaman kolonialisme yang tidak rela membiarkan bangsa ini tegak dan berkembang.

Saat berkunjung ke Yogyakarta tahun 1948, George McTurman Kahin menyaksikan betapa sederhananya M Natsir yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan. Indonesianis terkemuka dari Cornel University ini terkagum-kagum dengan Natsir yang tetap menggunakan jas tua yang sudah ditambal di sana sini. Bahkan stafnya dikabarkan mengumpulkan uang untuk dibelikan baju buat Natsir.

Keteladanan serupa kita temukan dalam diri Mohammad Hatta. Ketika hendak naik haji bersama istri dan dua saudarinya pada tahun 1952, Bung Karno menawari Hatta untuk naik haji dengan pesawat terbang dan biaya ditanggung negara. Tawaran tersebut dengan halus ditolak dan Hatta memilih naik haji seperti rakyat biasa dengan naik kapal laut. Biaya untuk naik haji dikumpulkannya dari honorarium tulisan dan buku karyanya. (Latif, 2014;107). Kita juga mengenang KH Ahmad Dahlan, IJ Kasimo, Gus Dur, Gedong Bagus Oka, Baharuddin Lopa, Mangunwijaya dan masih banyak lagi karena kesederhanaan dan keteguhan mereka membela kebenaran dan keadilan.

Sayang sekali, keteladanan elit tersebut kini seakan menjadi mitos. Jauh dari citra sederhana dan berkorban, elit saat ini justru sibuk mengurusi nasib sendiri. Ada yang mengeluh gajinya, ada yang kreatif mencari berbagai cara untuk mengumpulkan kekayaan bahkan tanpa malu-malu melakukan korupsi yang membuat bangsa ini seakan berada di jurang kehancuran. Moral dan mental elit kian tergerus oleh semangat pemujaan dan pemuliaan diri serta kelompok.

Di tengah situasi itulah kita memberi posisi penting bagi Jokowi. Gagasannya untuk melakukan revolusi mental merupakan langkah sederhana tapi konkret. Bangsa ini terpuruk bukan karena kekurangan orang cerdas atau minimnya iptek melainkan karena lemahnya mental. Revolusi mental tidak lain adalah gerakan untuk memberi tempat terhormat bagi kepentingan bersama ketimbang pribadi dan golongan. Mental yang mensinergikan target pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Mental yang menyeimbangkan kecerdasan intelektual dan ketulusan serta kehalusan budi. Mental yang memprioritaskan pencapaian visi bangsa ketimbang bagi-bagi kekuasaan yang merusak rasa keadilan. ***