Oleh Romanus Ndau Lendong

Akademisi Universitas Bina Nusantara, Jakarta

Pasca keputusan Mahkamah Konstitusi  21 Agustus 2014, wacana politik oposisi ramai didiskusikan. Koalisi Merah Putih (KMP) penyokong Prabowo-Hatta yang didukung 7 partai dengan total 353 kursi di parlemen bertekad untuk mengambil posisi sebagai kekuatan oposisi terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Tekad untuk beroposisi tersebut patut diapresiasi dan dilembagakan demi menumbuhkan pemerintahan demokratis di masa depan. Langkah ini tentu lebih prospektif  bagi KMP untuk membangun persepsi diri yang lebih positif sekaligus meraih simpatik rakyat ketimbang terus menerus memersoalkan keabsahan keterpilihan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Salah Paham

Pelembagaan politik oposisi hendaknya diawali dengan upaya meluruskan pemahaman atasnya. Rocky Gerung (2001) menjelaskan bahwa politik oposisi merupakan nilai yang melekat pada demokrasi itu sendiri. Memilih demokrasi sebagai sistem politik berarti menerima pandangan filosofis bahwa manusia adalah mahluk yang terus menerus berbuat salah.  Untuk itu, segala keputusan yang dihasilkan  harus terbuka untuk diperdebatkan secara rasional dan argumentatif. Pada titik ini politik oposisi berperan untuk mencegah monopoli dan pemutlakan kebenaran oleh sekelompok orang, terutama pemerintah,  karena berpotensi melemahkan dan mematikan demokrasi.

Merujuk pada konsep tersebut, maka sangat jelas telah berkembang salah paham tentang politik oposisi selama ini. Politik oposisi dimaknai sebagai bentuk permanensi rivalitas di antara berbagai kekuatan politik. Hal itu terlihat dari manuver dan debat politik yang biasanya sangat emosional, beraroma kebencian, dendam dan kekerasan. Berkembang kesan bahwa politik oposisi tidak lebih dari ledakan kekecewaan dan kemarahan para elite yang tidak siap dan ikhlas menerima kekalahan dalam setiap kontestasi politik.

Bagi pemerintah yang berkuasa, politik oposisi dicurigai sebagai ancaman yang setiap saat berpotensi menggoyahkan bahkan menjatuhkan kekuasaannya. Atas dasar itu, pemerintah biasanya berusaha untuk merangkul sebanyak mungkin kekuatan politik untuk mendukungnya. Manuver Joko Widodo-Jusuf Kalla  tentang kesiapan untuk berkoalisi dengan sebanyak mungkin partai merupakan implikasi dari pemahaman tersebut.

Cacat Bawaan Koalisi

Argumen yang mendasari  perlunya koalisi multi-partai adalah terjaganya stabilitas politik  dan pemerintahan sehingga kondusif bagi penyelenggaraan pembangunan. Tetapi secara historis, argumen tersebut sulit dipertahankan. Lipson Leslie (1964) dalam bukunya The Democratic Civilization mengingatkan bahwa kekuasaan itu penting tapi berbahaya. Kekuasaan koalisi multi-partai, katanya,  memiliki kompleksitas yang membingungkan. Sifat dasar koalisi adalah longgar dan sementara. Soliditasnya sulit dijamin sebaliknya rentan konflik karena perbedaan kepentingan yang tidak selalu mudah dicarikan solusinya.

Selanjutnya Leslie menyebutkan tiga cacat bawaan koalisi multi-partai yakni lemah, lamban dan boros. Lemah karena soliditas koalisi dengan mudah mencair jika terjadi perbedaan pandangan di antara anggota yang berujung pada penarikan dukungan terhadap pemerintah. Lamban sebab proses pengambilan keputusan cenderung bertele-tele dan harus melibatkan begitu banyak elite partai. Boros karena koalisi meniscayakan lahirnya kabinet gemuk sebab setiap anggota ingin mendapatkan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan.

Tak perlu penelitian mendalam untuk mencocokkan apa yang diingatkan Leslie dengan realitas politik di negeri ini, terutama pemerintahan SBY 10 tahun terakhir. Kabinet SBY-JK (2004-2009) dan  SBY-Boediono (2009-2014) didukung oleh koalisi gemuk berturut-turut 73,3% dan 75,5%.   Tapi stabilitas pemerintahan yang diharapkan tidak terwujud. Megaskandal Bank Century, kasus BLBI dan kenaikan BBM terus memicu konflik berkepanjangan. Kasus-kasus tersebut terus dipolitisasi dan diperdebatkan secara luas, tapi tak ada kesungguhan untuk menuntaskannya.

Di samping itu, koalisi multi-partai berpotensi menghambat gerakan antikorupsi. Salah satu motif partai berkoalisi dalam pemerintahan adalah semangat untuk mengakses sumber-sumber keuangan negara. Hal ini mudah dipahami mengingat rendahnya kemandirian partai secara finansial yang menurut sebuah survei tidak lebih dari 5%. Akibatnya, bukan saja gagal memberantas korupsi, koalisi partai justru menyuburkannya. Keterlibatan kader-kader partai dalam kasus Hambalang, impor daging sapi, e-KTP dan sebagainya merupakan contohnya.

Jika demikian, membuka ruang bagi politik oposisi jauh lebih sehat dan produktif ketimbang membangun koalisi multi-partai yang justru berpotensi menjebak pemerintah dalam berbagai kesulitan.

Hambatan Politik Oposisi

Ada dua hambatan serius bagi pelembagaan politik oposisi di negeri ini. Pertama, problem ideologis. Politik oposisi yang sukses mengandaikan adanya perbedaan ideologi yang jelas dan tajam di antara rejim dan oposisi. Soal ini menjadi hambatan serius di Indonesia karena hampir semua partai (kecuali partai Islam) menetapkan Pancasila sebagai asas dan ideologi partai. Visi-misi dan program yang ditawarkan pun secara substantif sama, yakni mendorong penguatan ekonomi rakyat, membangun dari desa, memajukan pendidikan dan sebagainya.

Kedua, oposisi harus secara total berada di luar rejim yang berkuasa.  Kenyataannya, politik oposisi ini hanya berada di tingkat pusat. Jadi sifatnya parokial, tidak total.  Banyak kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) yang berasal dari partai KMP. Tentu sulit bagi mereka untuk mengabdi kepada dua tuan (partai dan pemerintah pusat) secara adil di waktu bersamaan. Lebih sulit lagi mengharapkan agar kader dari KMP yang berada di pemerintahan meletakkan jabatannya dan beralih menjadi kekuatan oposisi.

Dua persoalan tersebut perlu didiskusikan secara luas dan berkelanjutan demi melembagakan dan memperkuat politik oposisi yang ideal di masa depan. Motivasi beroposisi harus dijauhkan dari anasir-anasir persaingan yang tidak sehat. Joko Widodo-Jusuf Kalla juga tidak perlu khawatir dengan politik oposisi jika motifnya  berkuasa adalah memberikan yang terbaik buat rakyat.***