Pilpres merupakan kontestasi terbuka untuk membangun legitimasi politik. Setiap aktor politik harus membekali diri dengan  rasionalitas tingkat tinggi dan derajat moral yang teruji. Rasionalitas menggaransi lahirnya ide-ide brilian dan agenda visioner untuk melahirkan perubahan sementara moralitas berperan menghindarkan setiap aktor politik dari jebakan menghalalkan segala cara. Dengan cara itu kita berharap pilpres bisa menjadi medium yang efektif untuk membangun budaya demokrasi.

Atas dasar itu, kita menyesalkan berbagai model kampanye yang cenderung menghambat budaya  demokrasi. Kasus mobilisasi babinsa, fitnah politik oleh Obor Rakyat  dan intimidasi serta kekerasan masih terus berulang. Hal ini diperburuk oleh merebaknya politik transaksional yang dilakukan oleh para pemburu kekuasaan. Wajar jika publik mulai mempertanyakan kegunaan Pilpres jika toh akhirnya hanya berperan untuk merotasi kekuasaan tapi tidak mampu menjejakkan perubahan yang signifikan.

 Perangkap Pragmatisme

Karut-marut politik saat ini berakar pada menguatnya pragmatisme kaum elite. Menurut Kamus Besar Ilmu Pengetahuan karangan Save M. Dagun (1997), pragmatisme adalah paham yang mendewakan kegunaan praktis atau asas manfaat. Pragmatisme  politik di sini tidak lain adalah usaha untuk meraih kekuasaan demi memenuhi kepentingan praktis  para elite, yakni kemegahan dan kemewahan pribadi dan kelompok.

Dalam perspektif demikian, politik menjadi bidang yang total profan, kini dan di sini. Politik kehilangan landasan spiritualnya yakni sebagai seni untuk menciptakan kebaikan bersama (bonum commune). Agar bisa mencapai kebaikan bersama, politik harus mendapat pembenaran secara moral dan etis. Politik dilandaskan pada nilai-nilai kejujuran, kebenaran, toleransi dan keadilan. Singkatnya, politik harus menjadi warta kasih untuk mencapai keselamatan integral, yakni keselamatan bagi segenap dimensi kehidupan manusia dan menjangkau semua orang.

Ketika politik kehilangan basis moral dan etis, ia akan menggusur idealisme. Nilai-nilai moral ditundukkan oleh perhitungan dan kepentingan-kepentingan praktis. Pragmatisme politik memang mampu memberikan janji-janji dan jaminan akan kebutuhan konkret, tetapi ia dapat berubah menjadi machiavelisme dalam politik karena nilai-nilai mudah ditukar dengan kepentingan praktis yang absen idealisme. (Olla, 2014;73).

Kenyataan ini berimplikasi pada dua hal. Pertama, merebaknya komodifikasi politik. Sebagai komoditas, politik  menjadi model investasi yang sangat prospektif sehingga terus direproduksi untuk melipatgandakan keuntungan. Mahalnya biaya politik saat ini merupakan fenomena normal dari komodofikasi tersebut.  Politik pun lebih ditentukan oleh kapital sementara idealisme, kapasitas dan integritas menjadi faktor sekunder.  Akibatnya, panggung politik didominasi oleh pemilik modal terutama para artis dan pengusaha kakap.

Kedua, mewabahnya praktek antidemokrasi. Alih-alih membangun demokrasi, Pilpres kita saat ini justru menyuburkan praktek-praktek yang melawan rasionalitas dan asas kapatutan. Terdorong oleh gairah untuk meraih kekuasaan, elite politik terus mengeksploitasi sentimen-sentimen primordial terutama suku dan agama. Tanpa malu-malu mereka terus mereproduksi fitnah, kecurigaan dan kebencian sehingga relasi sosial rentan konflik.  Situasi akan bertambah gawat jika elite politik ternyata mengidap inferioritas diri karena minimnya idealisme dan integritas. Menguatnya kampanye hitam saat ini merupakan bentuk kompensasi terhadap ketidakmampuan elite membangun persepsi diri sebagai figur yang andal dan layak dipercaya.

Kenyataan ini mengorbitkan pesimisme publik terhadap totalitas kepedulian elite politik. Gembar-gembor kampanye damai akan menjadi omong kosong belaka jika di saat yang sama mereka merancang fitnah dan kebencian. Janji-janji pencerdasan bangsa akan sia-sia jika elite juga gemar mengajari rakyat untuk saling curiga dan membenci semata-mata karena berbeda suku, agama dan pilihan politik. Jargon cinta rakyat pun tidak lebih dari utopi jika  elite memperlakukan mereka ibarat gerombolan pengemis yang pantas disuap dengan uang recehan.

Budaya Demokrasi

Rasionalitas memainkan peran penting dalam membangun budaya demokrasi. Filsuf eksistensialis Karl Jaspers menyatakan bahwa demokrasi hanya bisa bekerja dalam keadaban politik yang mengandalkan daya pikir. Katanya, rasio merupakan kualitas yang wajib dimiliki setiap orang sebagai daya pertimbangan dalam menentukan pilihan. Seterusnya, rasio bisa menghindarkan publik dari demagogisme politik yang sengaja dirancang elite politik sekadar untuk meraih dukungan.

Hal serupa ditegaskan Jurgen Habermas, Filsuf kritis kelahiran Jerman ini berpandangan bahwa kehidupan demokrasi tidak hanya tergantung pada pemerintah, tetapi juga pada sumber daya dan kebiasaan publik secara luas. Demokrasi formal membutuhkan budaya dan organisasi yang membantu rakyat untuk terlatih dan terbiasa untuk menegosiasikan berbagai perbedaan secara rasional, kritis dan kesiapan untuk menghadapi kekalahan sebagai sesuatu yang niscaya dalam setiap kompetisi politik. (Kleden, 2006).

Secara teoritik, demokrasi memang bergantung pada rakyat.  Demokrasi merupakan sistem politik yang  dimaksudkan untuk membuka ruang bagi artilkulasi hak-hak politik rakyat sekaligus modus untuk membatasi privilege elite. Mudah dipahami jika sering terjadi tarik menarik antara rakyat yang menghendaki demokrasi dengan elite yang cenderung membatasinya.

Itu berarti, budaya demokrasi tak akan pernah hadir sebagai hadiah elite politik. Catatan sejarah begitu miskin tentang prestasi elite dalam membangun budaya demokrasi. Di mana pun demokrasi lahir dari gemuruh gerakan perlawanan rakyat terhadap dominasi dan otoriterisme rezim penguasa. Demokrasi tidak pernah diawali dengan proses terima wewenang antara elite dengan rakyat dalam suasana persaudaraan penuh sukacita. Sebaliknya, budaya demokrasi tumbuh subur oleh lumuran darah dan air mata rakyat yang berguguran dalam gelora perjuangan menumbangkan rezim penguasa.

Pilpres 2014 hendaknya menjadi momentum penting untuk membangun budaya demokrasi. Rakyat hendaknya mampu mengembangkan tradisi politik yang sehat dengan memprioritaskan ketajaman daya pikir, kejujuran, kebenaran dan keadilan. Elite politik yang gemar menebar kebencian dan kekerasan sudah seharusnya dihindari. Sebaliknya, rasionalitas dan independensi rakyat mesti dikembangkan sehingga Pilpres bisa efektif dalam memekarkan budaya demokrasi. ***

Catatan:

Romanus Ndau, Dosen Universitas Bina Nusantara, Jakarta, HP 082 193 729 749, email: romanlendong@yahoo.com, No Rek. BNI Cab Salemba 0142 135 243.a.n. Romanus Ndau